GLOBAL, BALINEWS.ID – Polusi udara di kota-kota besar Indonesia kini menjadi sorotan, terutama karena dampaknya pada kesehatan anak-anak. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa paparan polusi udara, termasuk dari knalpot kendaraan, dapat meningkatkan risiko gangguan spektrum autisme (ASD) dan gangguan perkembangan saraf lainnya.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Brain Medicine oleh Hebrew University of Jerusalem menganalisis hubungan antara polusi udara dan aktivitas seluler terkait autisme. Peneliti memfokuskan penelitian pada empat jenis partikel utama dalam polusi udara: partikel halus (PM), nitrogen oksida (NO, NO₂), sulfur dioksida (SO₂), dan ozon (O₃).
Menurut Profesor Haitham Amal, penulis utama studi ini, partikel-partikel tersebut dapat memicu berbagai proses berbahaya di otak, seperti:
1. Neuroinflamasi: Peradangan pada sistem saraf pusat.
2. Stres Oksidatif/Nitrosatif: Ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang merusak sel.
3. Modifikasi Epigenetik: Perubahan kimia pada DNA.
4. Gangguan Neurotransmitter : Ketidakseimbangan senyawa kimia pengirim pesan di sistem saraf.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa interaksi gen-lingkungan akibat polusi udara berkontribusi signifikan terhadap peningkatan risiko ASD dan gangguan perkembangan saraf lainnya,” ungkap Amal.
Ahli saraf George Ghacibeh, MD, dari Hackensack University Medical Center, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menegaskan bahwa risiko tertinggi terjadi selama masa prenatal hingga usia awal kanak-kanak.
“Otak anak berkembang pesat sejak pembuahan hingga usia lima tahun. Pada masa ini, otak sangat rentan terhadap dampak faktor eksternal, termasuk polusi udara,” jelasnya.
Paparan bahan kimia dari udara yang dihirup ibu hamil atau anak kecil dapat masuk ke aliran darah, memengaruhi metabolisme, atau mengurangi pasokan oksigen ke otak yang sedang berkembang.
“Hal ini dapat mengganggu fungsi normal sel-sel otak dan berpotensi menyebabkan autisme atau keterlambatan perkembangan,” tambah Ghacibeh.
Meski temuan ini membuka wawasan baru, Amal mengakui studi ini masih memiliki keterbatasan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami secara mendalam bagaimana polusi udara memengaruhi perkembangan otak dan untuk mengonfirmasi hubungan kausal yang lebih kuat.
Polusi udara kini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan generasi mendatang. Penelitian ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya kolektif untuk mengurangi polusi udara demi melindungi masa depan anak-anak. (*)